DPR segera mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU)
Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan, Pembudidaya, dan Petambak Garam. Esensi
dari RUU tersebut adalah memberikan hak yang lebih besar untuk mengelola
wilayah perairan.
UU
tersebut juga memberi dukungan usaha bagi nelayan, pembudidaya, dan
petani petambak garam untuk mengakses, mengelola, dan mendapatkan
manfaat dari sumber daya perairan. Aspek perlindungan nelayan dalam UU
tersebut sesuai dengan standar minimum perlindungan nelayan sebagaimana
ditetapkan regulasi internasional.
Hingga kini kondisi nelayan dan petani garam di
negeri ini memang masih diwarnai dengan berbagai masalah pelik. Nelayan di
Tanah Air menghadapi dilematika ketika pemerintahan Joko Widodo sedang melakukan
penegakan hukum di laut terutama terkait dengan illegal
fishing.
Selain itu, keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti yang melarang penggunaan alat tangkap pukat harimau
( trawl )
dan sejenisnya juga menimbulkan resistensi. Implementasi UU Pemberdayaan
Nelayan yang kelak dijalankan dengan peraturan pemerintah (PP) diharapkan dapat
menambah insentif kepada nelayan kecil untuk memperbaiki alat tangkap dan
peremajaan mesin kapal.
Karena itu, perlu dirumuskan kembali jenis insentif
dalam paket kebijakan optimasi subsidi perikanan, yang diikuti dengan
pengaturan kembali zona penangkapan ikan bagi nelayan lokal. Penting juga menata
kembali subsidi perikanan yang memiliki sensitivitas local maupun global.
Subsidi Perikanan Bermasalah
Subsidi selama ini sering salah sasaran dan
diselewengkan. Bahkan subsidi nelayan untuk peremajaan kapal dan pembelian alat
tangkap acapkali dimanipulasi. Akibatnya, pengadaan kapal untuk nelayan mutunya
buruk dan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Selain itu, subsidi BBM
untuk nelayan selama ini banyak mengalami salah sasaran dan justru jatuh ke
tangan para cukong.
Masalah subsidi perikanan selama ini menjadi isu
sensitif di tingkat global. Negara-negara maju tak henti-hentinya menuntut
dihapuskannya subsidi perikanan dalam berbagai forum. Indonesia jangan sampai
terjerumus dalam isu global subsidi perikanan, sehingga usaha untuk memperbaiki
nasib nelayan kecil terganggu.
Selama ini definisi tentang nelayan kecil di forum internasional
masih bias. Begitu pun di dalam negeri juga masih terjadi perbedaan pendapat
terkait definisi nelayan kecil. Padahal, definisi baku tersebut perlu segera
ditentukan karena terkait dengan esensi peraturan pemerintah tentang
pembudidaya kecil dan nelayan kecil.
Selama ini, jumlah subsidi yang diberikan
pemerintah untuk usaha perikanan tidak kecil. Dan pada saat ini negara-negara
maju cenderung beranggapan bahwa subsidi perikanan mengakibatkan persaingan usaha
yang tidak sehat dan menimbulkan dampak serius terhadap cadangan ikan.
Saat Deklarasi Paracas di Peru yang merupakan forum
menteri kelautan dan perikanan kawasan Asia Pasifik yang tergabung dalam forum
Asia Pacific Economie Cooperation (APEC), pemerintah Indonesia memutuskan untuk
tetap memberikan subsidi perikanan bagi nelayan berskala kecil meskipun hal
tersebut mendapat pertentangan dari negara-negara maju.
Akar persoalan subsidi perikanan tidak sama bagi
negara maju dengan negara berkembang. Sehingga sulit dicari titik temu. Namun
demikian Indonesia juga harus memperhatikan kaidah di dalam Agreement on
Subsidies and Countervailing Measures (ASCM) yang terdapat dalam dokumen WTO
yang terbit 1999.
Ada masalah terkait dengan pemberian subsidi
perikanan yang tidak tepat sasaran. Masalah tersebut yakni, yang menerima
justru bukan nelayan kecil yang sebenarnya, tetapi jatuh kepada cukong besar.
Ini seperti kasus subsidi bahan bakar minyak (BBM) kepada nelayan yang justru
dimangsa oleh pengusaha besar atau para penyelundup. Juga terjadi pada subsidi
pengadaan kapal nelayan yang tidak cocok spesifikasinya sehingga kapal tersebut
tidak terpakai dan sia-sia padahal sudah menghabiskan anggaran yang sangat besar.
Dalam ketentuan ASCM, definisi subsidi perikanan
dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu pertama, subsidi yang dilarang karena
dapat meningkatkan kapasitas tangkap dan mendistorsi perekonomian negara lain (prohibited
subsidies).
Kedua, subsidi yang diperbolehkan selama tidak ada negara lain yang dirugikan karena
kebijakan itu (actionable subsidies).
Ketiga, subsidi yang tidak termasuk dalam dua
kategori tersebut (nonactionable subsidies). Di Indonesia pemerintah menyatakan subsidi
kepada pelaku sector ini tidak ada hubungannya dengan kelebihan kapasitas
tangkap. Namun demikian, pencurian ikan oleh pihak luar dalam skala besar dan
jika dibiarkan oleh otoritas keamanan laut Indonesia, maka hal itu bisa
dianggap sebagai prohibited
subsidies khususnya
meningkatkan kapasitas tangkap. Apalagi kapal-kapal pencuri ikan tersebut
memakai BBM bersubsidi secara ilegal lalu membanjiri pasar domestik dengan ikan
hasil tangkapannya.
Selama ini, Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah
belum inovatif dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Potensi
sumber daya kelautan dan perikanan yang luar biasa besarnya itu belum terkekola
dengan baik akibat rintangan teknologi dan infrastruktur. Pengelolaan wilayah
pesisir dan pulaupulau kecil sebaiknya mencakup program relokasi bagi nelayan.
Kehidupan nelayan di negeri ini didera sederet
persoalan krusial. Itu berupa serbuan ikan impor dari negara lain yang
membanjiri pasar domestik. Juga masalah persediaan BBM untuk melaut. Profesi
nelayan kini masih terpuruk karena insentif dan program pemberdayaan nelayan
kurang menjangkau secara luas. Para nelayan sering tidak bisa memenuhi biaya operasional.
Akibatnya, waktu menganggur nelayan semakin panjang.
Program alih profesi bagi nelayan tangkap ke arah
budidaya ternyata juga kurang efektif dan justru menyebabkan stagnasi produksi
dan semakin tingginya intensitas pencurian ikan oleh pihak asing. Semua itu
sebenarnya takkan bertambah parah jika para nelayan tangkap jauh-jauh hari
sudah diberdayakan dengan menekankan aspek inovasi teknologi dan insentif BBM
untuk melaut. Jika program pemberdayaan nelayan bisa dilakukan secara efektif, target
Indonesia menjadi eksportir perikanan terbesar di dunia bisa cepat terwujud.
Transformasi Sistem MCS
Kondisi infrastruktur Kementerian Kelautan dan
Perikanan kini masih belum ideal. Karena itu, perlu optimasi dan penambahan infrastruktur
KKP untuk mengakselerasi program kerja Menteri Susi Pudjiastuti yang progresif
dan penuh terobosan.
Dibutuhkan sistem dan solusi teknologi terkini yang
bisa membantu mengintegrasikan pengelolaan sumber daya kelautan. Pada prinsipnya
sistem memiliki konten dari berbagai aspek: ekologi, ekonomi kelautan, masalah
sosial wilayah pesisir hingga tata kelola pulaupulau kecil.
Tekad Menteri Susi yang totalitas dalam memberantas
pencurian sumber daya kelautan atau Illegal
Unregulated and Unreported
(IUU) Fishing di
seluruh perairan Indonesia bisa diwujudkan jika ada transformasi sistem MCS (monitoring,
control, and surveillance) bagi sumber daya kelautan dan perikanan.
Transformasi itu antara lain ditandai dengan
peningkatan secara signifikan kinerja lembaga nasional yakni National Fisheries
Monitoring Centre yang berada dalam lingkup KKP. Perangkat system dapat
melakukan berbagai analisis data luaran dari Vessel Monitoring System(VMS)
untuk penanganan IUU Fishing secara cepat dan tepat.
Sistem juga harus mampu menunjang operasional kapal
inspeksi yang bertugas melakukan pengecekan dan penindakan terhadap kapal yang
melakukan aktifitas IUU Fishing. Dengan demikian operasi penegakan hukum di
laut dapat dilakukan dengan cepat, tepat, dan tidak boros.
Eksistensi Undang-Undang Pemberdayaan dan
Perlindungan Nelayan, Pembudidaya, dan Petambak Garam juga harus mampu
mengatasi masalah kebutuhan garam nasional yang selama ini masih harus diimpor dari
negara lain. Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti sangat geram
dengan garam impor yang hingga kini masih membanjiri Indonesia.
Sungguh ironis, Indonesia sebagai negara kepulauan
yang 2/3 wilayahnya lautan dan memiliki garis pantai nomor dua terpanjang di dunia,
tak sepantasnya menjadi importer garam. Berdasarkan data Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP), kebutuhan garam konsumsi setiap tahun mencapai 1,5 juta
ton, dan garam industri sebanyak 2 juta ton, sehingga total kebutuhan garam 3,5
juta ton. Tercatat jumlah impor garam mencapai 2,2 juta ton setiap tahunnya.
Pemerintah harus berusaha keras mencari investor
yang mau mengolah potensi garam nasional yang belum tergarap. Usaha itu
tentunya harus disertai dengan penerapan inovasi teknologi tepat guna pembuatan
garam oleh petani. Perlu pembukaan lahan baru yang disertai dengan pemberian
insentif serta perbaikan sistem distribusi dan metode produksi. Saatnya
pemerintah berpikir keras dan berupaya sekuat tenaga untuk memberdayakan petani
garam dengan berbagai inovasi teknologi.
Meskipun dengan langkah yang terseok-seok
sebenarnya petani sudah mampu meningkatkan mutu garamnya. Namun, peningkatan
tersebut masih dilecehkan oleh kalangan industri. Untuk itu, dengan adanya UU
di atas pemerintah dituntut agar bersungguh-sungguh membantu inovasi teknologi
produksi pergaraman rakyat. Untuk membantu petani garam dalam menggapai harga
yang wajar serta meningkatkan persentase serapan garam rakyat untuk industri
domestik diperlukan lembaga semacam badan penyangga garam rakyat.
Pemerintah daerah membuat badan tersebut dan harus
mampu menerobos sindikasi garam industry yang selama ini telah meminggirkan
garam rakyat. Selain itu, badan tersebut harus juga bisa berfungsi sebagai
pengontrol atau pengawas regulasi garam di lapangan.
Harjoko Sangganagara, Dosen sejumlah perguruan tinggi di Jawa Barat